Senin, 02 September 2013

Sejarah Kota Sawahlunto

Sumber : www.sawahluntokota.go.id

Sawahlunto adalah salah satu diantara sejumlah kota yang terletak di kawasan Bukit Barisan di Sumatera Barat, tetapi mempunyai riwayat kehadiran yang berbeda dengan kota lain tersebut.

Kota seperti Bukit Tinggi, Batusangkar, Payakumbuh, Padang Panjang dan Solok terbentuk oleh perkembangan komunitas Minang, sedangkan Sawahlunto oleh usaha tambang pada zaman pemerintahan Belanda tahun 1888, Sawahlunto mulai menjadi mukiman pekerja tambang ketika uang sebesar 5,5 juta golden ditanamkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk membangun berbagai fasilitas pengusahaan tambang batubara Ombilin, Mukiman ini terus berkembang mejadi sebuah kota kecil dengan penduduk yang intinya adalah pegawai dan pekerja tambang.

Belanda juga membangun sistem kereta api dengan biaya 17 juta gulden sebagai alat angkut untuk dapat membawa batu bara dari sawahlunto keluar melalui Padang. Kereta api telah beroperasi sejak tahun 1888 tetapi baru sampai di Muara kalaban dan mencapai Sawahlunto pada 1894. adanya angkutan kereta api inilah yang membuat usaha pertambangan itu kembali memberikan hasil yang positif dari hanya puluhan ribu ton menjadi ratusan ribu ton pertahun, dari usaha yang rugi menjadi menjadi usaha dengan laba besar sampai 4,6 juta gulden dalam setahun pada tahun 1920. sampai tahun 1898, usaha tambang ini masih mengandalkan pekerja paksa yaitu narapaidana yang dipaksa bekerja untuk tambang dan dibayar dengan harga murah. Tahun 1908 upah buruh paksa 18 sen/ hari dan dapat dikenakan sangsi hukum cambuk kalau membangkang, upah buruh kontrak 32 sen/hari dengan mendapatkan fasilitas tempat tinggal dan jaminan kesehatan. Sedangkan buruh bebas upahnya 62 sen/ hari tanpa fasilitas (Zubir,1995). Dengan demiklian dapatlah dibayangakan bahwa pada awal abad ke 20, Sawahlunto sesungguhnya merupakan kamp tahanan bagi pekerja paksa tersebut.

Ketika pada tahun 1918 Sawahlunto dikategorikan sebagai Gemeentelijk Ressort atau Gemeente dengan luas wilayah 778 ha, hal ini karena ada kaitannya dengan puncak keberhasilan kegiatan pertambangan tersebut. Pada tahun 1930 wilayah ini berpenduduk 43576 jiwa, diantaranya 564 jiwa adalah orang belanda (Eropa). Walaupun demikian Sawahlunto belum sempat menjadi Stadsgemeente, yang penyelenggaraan kotanya dilakukan oleh stadsgemeenteraad (DPRD) dan Burgemeester (Walikota).

Sejak tahun 1940 sampai dengan akhir tahun 70-an produksi batubara ombilin merosot, kembali hanya puluhan ribu ton pertahun. Sawahlunto pun mengalami kemerosotan yang diindikasikan dari merosotnya jumlah penduduk menjadi hanya 13.561 jiwa pada sensus tahun 1980. Dengan menambah beberapa fasilitas, perubahan manajemen dan penerapan teknologi baru, usaha penambangan meningkat kembali sejak awal tahun 80-an, bahkan produknya terus meningkat melampaui 1 juta ton pertahun pada akhir tahun 90-an. Penduduk Sawahlunto juga meningkat menjadi 15.279 menurut sensus tahun 1990, walaupun demikian laju pertumbuhan penduduk yang hanya 1,2% pertahun ini masih dibawah rata-rata laju pertumbuhan penduduk Sumatera Barat yang mencapai 1,62% dan tidak tampak mempunyai korelasi dengan peningkatan produksi batubara.

Kemudian pada tanggal 10 Maret 1949 diadakan rapat dengan hasilnya Daerah. Kemudian pada tanggal 10 Maret 1949 diadakan rapat dengan hasilnya Daerah Afdeeling Solok tersebut di bagi atas Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung dan Kabupaten Solok, maka Pemerintahan Stad Gemeente Sawahlunto di rangkap oleh Bupati Sawahlunto/Sijunjung. Dalam kurun waktu 1949 - 1965 terjadi perubahan status dari berdiri sendiri atau di bawah Pemerintah Sawahlunto/Sijunjung. Selanjutnya dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 1965 statusnya berubah menjadi Daerah Tingkat II dengan sebutan Kotamadya Sawahlunto berkepala Perintahnya sendiri di bawah Walikota AKHMAD NOERDIN, SH terhitung mulai tanggal 11 Juni 1965 yang dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 8 Maret 1965 Nomor 1965 Nomor Up. 15/2/13-227 di tunjuk sebagai Pejabat Walikota Kepala Daerah Sawahlunto.

Kemudian Walikota yang memimpin Kota Sawahlunto sejak pertama Berdiri sampai sekarang sebagai berikut :

1. ACHMAD NURDIN, SH ( Masa Jabatan Walikota 1965 s/d 1971 )

2. Drs. SHAIMOERY, SH ( Masa Jabatan Walikota 1971 s/d 1983 )

3. Drs. NURAFLIS SALAM ( Masa Jabatan Walikota 1983 s/d 1988 )

4. Drs. H. RAHMATSJAH ( Masa Jabatan Walikota 1988 s/d 1993 )

5. Drs. H. SUBARI SUKARDI ( Masa Jabatan Walikota 1993 s/d 1988 dan Masa Jabatan Walikota 1988 s/d 2003 )

6. Ir. H. AMRAN NUR ( Masa Jabatan Walikota 2003 S/D 2008 ) dan

H. FAUZI HASAN ( Masa Jabatan Wakil Walikota 2003 S/D 2008 )

Tahun 1990 wilayah admnistrasi Sawahlunto diperluas dari hanya 779 ha menjadi 27.344 ha yang membawa konsekuensi jumlah penduduknya meningkat. Berdasarkan hasil survey penduduk antar sensus 1995, penduduk Sawahlunto menjadi 55.090 jiwa. Walaupun demikian Sawahlunto tidak dengan sendirinya menjadi kota yang lebih besar. Seperti yang terjadi pada kota yang umumnya dimekarkan. Oleh bentang alamnya pemekaran Sawahlunto menjadikan semacam federasi bebrapa kota kecil dan mukiman pedesaan. Pertumbuhan penduduknya ternyata bersifat sementara karena berdasarkan sensus tahun 2000, penduduk Sawahlunto menunjukan gejala menurun. Pada sensus tahun 2000 tersebut tercatat jumlah penduduk 50.668 jiwa, artinya selama lima tahun telah terjadi penurunan 8%. Diantaranya disebabkan karena sebagaian perumahan pegawai Unit Pertambangan Ombilin (UPO) dipindahkan keluar daerah kota Sawahlunto. Dari segi ini tampak bahwa pertambangan batubara Ombiin dan kota Sawahlunto memang jelas ada kaitannya.

Selama seratus tahun batubara yang telah dieksploitasi telah mencapai sekitar 30 juta ton, dan masih tersisa cadangan lebih dari 100 juta ton. Walaupun demikian masa depan penambangan batubara Ombilin ini belum jelas, karena cadangan yang masih ada hanya bisa dieksploitasi sebagai tambang dalam. Dapat tidaknya eksploitsi tersebut tergantung pada harga serta permintaan pasar batubara dan penguasaan teknologi, selain itu penyelenggaraan pertambangan batu bara ini juga sedang mengalamai re-orientsi oleh berkembangnya semangat desentralisasi. Apapun yang terjadi dengan penambangan batu bara Ombilin ini, pemerintah dan masyarakat Sawahlunto bertekad menjadikan Sawahlunto sebagai kota wisata berbasis pertambangan. Ini merupakan tata kaitan antara pertambangan Ombilin dan kota Sawahlunto baru, yang masih harus dikembangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.